Pages

Wednesday, October 5, 2022

Self-doubts


Sejak kecil rasanya saya pribadi yang cukup percaya diri. Mampu mengambil keputusan dalam waktu terbatas dan jarang menyesali keputusan yang sudah dibuat. Dulu self-doubt tidak sering muncul di algoritma pemikiran saya. Tapi semua berubah ketika negara api menyerang. Alias adulting 🙃

Setelah menikah dan menjadi ibu, pilihan yang saya buat tidak hanya berdampak pada diri sendiri tapi juga dua manusia kecil yang Allah amanahkan pada saya dan Uda cwamie. Proses memilih dan mengambil keputusan jadi terasa berat, lambat, dan berbahaya. Salah langkah bisa jadi disastrous. Belum lagi kenyataan bahwa tidak ada pilihan ‘terbaik’ yang paling benar untuk semua. Tiap keluarga punya pilihan dan pertimbangan masing-masing. Pilihan yang paling tepat untuk keluarga A ternyata tidak cocok untuk keluarga B. Sebenarnya perbedaan macam ini biasa saja  dan harmless. Masalahnya masing-masing pihak punya tendensi untuk membuat pilihan pihak lain jadi invalid dan terasa salah. Mungkin root-nya adalah insecurities dan self-doubts sehingga perlu meyakinkan diri bahwa pilihannya terbaik dengan cara degrading pilihan orang lain. That is me. Alhamdulillah self-talk jelek macam itu cuma ada dalam kepala dan mungkin sesekali saya curhatkan ke Uda. Tapi banyak orang lain yg secara terang-terangan mempertanyakan (bukan sekedar karena ingin tahu), bahkan merendahkan pilihan orang lain.

Mulai dari pilihan melahirkan (normal-sectio), menyusui (ASI-sufor), ibu stay at home atau kembali bekerja, sekolah Islam atau non-relijius, kpr atau mengontrak, the lists just go and go on. Neverending. Semua dibahas. Dicari lawannya. Dicari argumen paling valid dan solid untuk merasa menang, tak peduli saudara atau teman yang diserang merasa sakit hati. Aku. Aku. Aku. Si paling pintar. Si paling well-prepared. Si paling cerdas mengambil keputusan.

Kadang ketika burnout, omongan-omongan buruk orang yang punya pilihan berbeda ini merembes masuk juga ke dalam kapal pikiran saya. Rasanya sangat menyebalkan. Kadang memuakkan. Harus banyak-banyak istighfar, berdzikir, dan mengingat bahwa dunia ini bukan end goal seorang muslim. Bahwa ketidaknyamanan di dunia bukan menunjukkan derajat di akhirat. Bahwa tidak ada yang salah dengan mematuhi syariat walaupun makin hari makin terasa tidak politically correct.

Semoga Allah kuatkan menjadi istri dan ibu. Semoga perlahan bisa menghilangkan self-doubts dan self-talks yang tidak memberdayakan. And may i stay grateful for everything that Allah bestow upon me.