Pages

Sunday, March 5, 2023

A Plea to God

 Ya Allah yang Maha Pengampun,

ampuni hamba yang belum bisa memaksa diri untuk birrul walidain. Setiap kali memaksakan diri, dada terasa sesak, sulit bernafas, dan sangat mual. Hamba belum sanggup ya Allah. Maaf ya Allah ☹️ 

Wednesday, October 5, 2022

Self-doubts


Sejak kecil rasanya saya pribadi yang cukup percaya diri. Mampu mengambil keputusan dalam waktu terbatas dan jarang menyesali keputusan yang sudah dibuat. Dulu self-doubt tidak sering muncul di algoritma pemikiran saya. Tapi semua berubah ketika negara api menyerang. Alias adulting 🙃

Setelah menikah dan menjadi ibu, pilihan yang saya buat tidak hanya berdampak pada diri sendiri tapi juga dua manusia kecil yang Allah amanahkan pada saya dan Uda cwamie. Proses memilih dan mengambil keputusan jadi terasa berat, lambat, dan berbahaya. Salah langkah bisa jadi disastrous. Belum lagi kenyataan bahwa tidak ada pilihan ‘terbaik’ yang paling benar untuk semua. Tiap keluarga punya pilihan dan pertimbangan masing-masing. Pilihan yang paling tepat untuk keluarga A ternyata tidak cocok untuk keluarga B. Sebenarnya perbedaan macam ini biasa saja  dan harmless. Masalahnya masing-masing pihak punya tendensi untuk membuat pilihan pihak lain jadi invalid dan terasa salah. Mungkin root-nya adalah insecurities dan self-doubts sehingga perlu meyakinkan diri bahwa pilihannya terbaik dengan cara degrading pilihan orang lain. That is me. Alhamdulillah self-talk jelek macam itu cuma ada dalam kepala dan mungkin sesekali saya curhatkan ke Uda. Tapi banyak orang lain yg secara terang-terangan mempertanyakan (bukan sekedar karena ingin tahu), bahkan merendahkan pilihan orang lain.

Mulai dari pilihan melahirkan (normal-sectio), menyusui (ASI-sufor), ibu stay at home atau kembali bekerja, sekolah Islam atau non-relijius, kpr atau mengontrak, the lists just go and go on. Neverending. Semua dibahas. Dicari lawannya. Dicari argumen paling valid dan solid untuk merasa menang, tak peduli saudara atau teman yang diserang merasa sakit hati. Aku. Aku. Aku. Si paling pintar. Si paling well-prepared. Si paling cerdas mengambil keputusan.

Kadang ketika burnout, omongan-omongan buruk orang yang punya pilihan berbeda ini merembes masuk juga ke dalam kapal pikiran saya. Rasanya sangat menyebalkan. Kadang memuakkan. Harus banyak-banyak istighfar, berdzikir, dan mengingat bahwa dunia ini bukan end goal seorang muslim. Bahwa ketidaknyamanan di dunia bukan menunjukkan derajat di akhirat. Bahwa tidak ada yang salah dengan mematuhi syariat walaupun makin hari makin terasa tidak politically correct.

Semoga Allah kuatkan menjadi istri dan ibu. Semoga perlahan bisa menghilangkan self-doubts dan self-talks yang tidak memberdayakan. And may i stay grateful for everything that Allah bestow upon me.


Saturday, August 15, 2020

How I Met le Hubby (2)

Saya udah cerita sampai mana ya di part sebelumnya? wkwk bentar scroll back dulu

Yak oke udah inget. Jadi akhir April 2016 setelah om dan tante berusaha jadi matchmaker, saya rajin ngadu ke Allah perihal jodoh. Sebelumnya udah sering ngebatin sih. Pas menjelang atau setelah kajian di masjid Al Azhar atau masjid Nurul Iman Blok M, biasanya. Kalau melihat pasangan yang datang kajian bersama suka memohon jodoh yg saling membantu urusan dunia dan akhirat ke Allah. Tapi paska forum Sentul, saya berdoa formally. Di waktu-waktu mustajab dan bahkan jadi rajin sholat dhuha. Saya benar-benar takut dilamar keponakan teman om yang saya kurang sreg di pertemuan pertama itu. Eak.

Apakah doa-doa desperate saya ngeberisikin penduduk langit apa gimana, ya. Qadarullah ngga lama setelah itu ada teman satu geng (iya saya masih suka geng-gengan bahkan pas udah kerja 😂) yang bertanya apa saya 'available'. Ada teman kuliahnya yang ingin berkenalan setelah melihat foto saya yang dipost teman di Instagramnya. What. Hal pertama yang saya lakukan adalah mengecek postingan foto itu dan dalam hati mengomentari diri sendiri "hmm ya bagus sih emang angle-nya. Keliatan imut emang gue, ya". Wkwk. Jomblo harus narsis biar pede~

Setelah puluhan tahun benci kenal-kenalan random dan bertukar nomor hape, kali itu saya bertukar nomor hape dengan ridho dan penuh harap. Apakah lelaki ini yang akan menyelamatkan saya dari perjodohan yang (kayaknya sih) ngga (begitu) saya inginkan? Pertukaran nomor hape ini saya lakukan dengan teman saya V di lobby kantor. Saat itu sedang berlangsung kegiatan donor darah untuk merayakan HUT kantor. Teman segeng kami yang lain, D, bertugas mencatat nama-nama pendonor dan mengarahkan mereka ke ruang dimana petugas PMI menunggu. D yang juga tahu dan iba pada kejombloan saya nyeletuk;

"mbak, ini ada cowo lantai atas yang jomblo nih bisa jadi gebetan. Ntar gue tunjukin yang mana orangnya".

Saya sekilas melihat papan nama yang dipegang D dan membaca nama calon gebetan. Namanya lucu juga. Tapi...

"ini setahun lebih muda dari gue, nih. Males ah, brondong", ujar saya sambil berusaha ngga deg-degan membalas chat pertama dengan lelaki yang dikenalkan V.

Beberapa pekan mengobrol ringan dengan lelaki teman V, saya ngga sreg juga. Tapi masih agak mendingan dibanding lelaki yang dijodohkan. Suatu hari di bulan Ramadhan, lelaki teman V mengajak saya bertemu di Metropole. Ngabuburit (ah elah) bertatap muka setelah selama ini hanya ngobrol via whatsapp. Saya bener-bener deg-degan dan ngga nyaman sampai sakit perut saat bersiap-siap sepulang dari kantor. Karena terlalu tegang, sepertinya saya ngga fokus membalas chatnya, yang berakhir dengan kesalahpahaman. Saya udah duduk di lobby bioskop sambil mules, eh, si lelaki mengira kami ngga jadi ketemuan sehingga dia pulang ke rumah orangtuanya di Bekasi. Dan butuh waktu lumayan lama untuk kembali ke Jakarta, bertemu saya di Metropole. Entah kenapa saya malah merasa lega dan merasa ini clue kalau he was not the one. Aslinya sih saya nyari-nyari pembenaran untuk ngecut komunikasi karena saya (as always) merasa kurang sreg.

Keesokannya D bercerita kalau sore sebelumnya dia ikut bukber di lantai atas, kantor pacarnya yang beda perusahaan tapi satu gedung dengan kantor kami.

"mbak, semalem ada yang minta kontak lo tuh. Anak kantor atas tapi udah resign. Namanya R", kata D.

Rasa-rasanya pernah mendengar nama itu tapi ngga ingat dimana. Saya cuma tersenyum (sok) penuh misteri dan berjalan (sok) elegan ke arah kubikel saya untuk bekerja. D berteriak-teriak bertanya kapan saya mau pensiun jadi jomblo. Sesampainya di kubikel, hal pertama yang saya lakukan adalah stalking sosmed R. Ih, anak gaul Jakarta. Saya amati taggingnya di Instagram. Ih, fotonya mepet-mepet cewe. Masih mending si lelaki yang gagal kopdar di Metropole kayaknya. Saya pun menelepon meja D; 

"awas jangan kasih nomer hape gue ya", ujar saya

"dih kapan mau kewong lu mbak, ngasih nomer aja kagak mau", timpal D sambil menutup teleponnya.

Hari-hari berikutnya saya jalani dengan agak waswas menunggu om menghubungi saya. Saya berdoa om sibuk banget sampai lupa pada urusan matchmaking. Saya juga malas-malasan membalas chat lelaki gagal kopdar karena kami kurang nyambung. Kalu kata Marie Kondo, obrolan kami ngga sparks joy. Tiba-tiba ada notifikasi DM Instagram. Dari akun non follower saya. Isinya; 

"Siang kak, boleh minta contact, ngga?"

Lah. Si R. 



-bersambung ke part 3