Pages

Saturday, May 23, 2020

How I Met le Hubby (1)

Blog post kali ini tentang bagaimana saya bertemu dengan lelaki yang kini menjadi cuamicuu~. I am a hopeless romantic and i adore love story. Jadi ya seneng aja mengingat-ingat kisah perkenalan kami yang padat, singkat, dan fokus ke pelaminan tapi ga kalah unyunya dengan drama Korea. Wkwk. Cerita ini saya tuliskan sebagai pengingat bahwa we were two people in sweet love story, yang kadang akhir-akhir ini terlupa karena practicality kehidupan rumah tangga. Dan semoga manisnya dapat meluluhkan hati saya ketika ngambek random ke si Uda 😂

So i was always bertanya-tanya bagaimana rasanya saling mencintai dengan seseorang. Yah gimana ya saya kan ngga ada pengalaman pacar-pacaran. Sebenarnya bukan karena alim banget sih (lol) tapi karena saya kekanak-kanakan (?). Saya sering jatuh cinta pada karakter fiksi di novel atau komik yang saya baca, tapi pada lelaki di dunia nyata, saya gampang banget ilfil. Banyak kali saya ngefans pada beberapa lelaki sepanjang masa single saya mulai remaja, selalu berakhir sebagai ngefans satu arah saja atau saya lari ketika si obyek fangirling meng-approach saya. Kalau si lelaki yang saya sukai ini ternyata balik menyukai saya, saya akan langsung dapat 1001 kelemahan manusiawinya yang akan membuat saya ilfil dan kabooorrrr~ 😂😴

Keabsurdan kehidupan percintaan saya terus berlangsung dari saat baligh (wkwk) sampai di suatu sore yang biasa-biasa saja di bulan April 2016. Saat itu usia saya 27 tahun, sudah bekerja, hobi travelling ala-ala, dan jadi obyek bully bapak-bapak kolega kantor yang jauh lebih tua dari saya. Di kantor saya pada saat itu memang ngga terlalu banyak staf berusia muda dan lajang. Hanya ada beberapa orang dan semuanya sudah punya pacar kecuali saya~

Teman-teman kantorlah yang saat itu gelisah melihat saya masih lalalili menjomblo ngga jelas. Sayanya sih lagi dalam keadaan zen karena agak rajin ikut kajian di Al Azhar dan Masjid Nurul Iman Blok M. Walopun yaaaa tiap pulang kajian yang after office hour itu saya suka membayangkan enaknya kalau yang membonceng saya pulang adalah my significant other alih-alih bapak gojek random 😂

Di hari ulang tahun saya yang ke-27, Oom dan tante yang juga waswas melihat kejombloan saya akhirnya mengenalkan saya pada seorang lelaki, keponakan teman satu komunitas mereka. Saya, Oom, tante, si lelaki, tantenya, dan anak si tante bertemu di sebuah restoran di Sentul. Kami berusaha mengatasi kecanggungan perjodohan dan ngobrol awkward tentang hobi dan pekerjaan. Hasil dari pertemuan itu adalah saya sakit perut dan minta melipir ke toilet rest area tol. Ternyata saya menstruasi dini sodara-sodaraaaa. Maju dua minggu dari jadwal, hal yang beberapa kali terjadi ketika saya under pressure. Perjodohan itu berat. Huhuhu.

Saya ngga merasa klik dengan si lelaki, tapi saya takut salah langkah jika langsung menolak perjodohan itu. Oom saya bilang agama dan akhlak si lelaki ini baik. Dan saya pernah sekilas membaca tentang anjuran untuk menerima pinangan pria yang baik agama dan akhlaknya. GR banget yaa padahal masnya juga belum meminang dan kami juga belum memutuskan untuk bertemu kembali.

Yang jelas sejak pertemuan itu saya jadi berasa desperate. State zen saya agak goyah. Saya benar-benar takut akan menikah dengan lelaki yang tidak menarik hati saya. Ntar bisa bahagia ngga kalo saya aslinya ngga suka. Jangan-jangan malah merasa menderita ketika harus melayani karena saya ngga suka. Pokoknya mikirnya suka ngga suka aja khas hopeless romantic. Saya ngga pragmatis sama sekali kalo masalah percintaan. Alhasil saya nangis-nangis terus tiap malam, mengadu pada Allah. Memohon agar saya dipertemukan dengan jodoh sebelum si mas ponakan temen Oom ini follow up, atau ya tolonglah ya Allah itu hati si masnya dialihkan aja biar ngga suka sama saya. Sungguh doa yang kepedean 😂

Nah, apakah mas-mas perjodohan ini yang akan menjadi ayah dari anak-anak saya yang gemas-gemas di masa mendatang? Bersambung ke part 2.........

Wkwkwk