Pages

Wednesday, May 8, 2019

Mom-shaming pft

Lamaaaa sudah saya absen dari menulis di blog. Tapi hari ini saya merasa perlu banget media untuk lashing-out. Wkwk.

Jadi hari ini saya kena mom-shaming oleh seorang teman dekat. Beliau sudah dua kali ini, kalau saya tidak salah hitung, tidak menghargai pilihan pribadi saya. Mau curhat ke suami kok ini belum waktunya buka ya, masa mau saya ajak ghibah 😂. Akhirnya here we are..

Pasca lahiran Allebaby my firstborn, saya memilih tidak memasang alat kontrasepsi IUD. Selain takut (hahaha), saya juga merasa umur saya udah di ujung masa subur jadi ya kalau mau bereproduksi inilah saatnya. LoL. Tentu saja saya dan suami masih berusaha memberi jarak kelahiran dengan cara ASI eksklusif (yang menurut penelitian menurunkan kesuburan), mencatat masa subur, dan juga Azl. Tapi qadarullah, 3 bulan lalu, saat Alle baby berumur 8 bulan, saya iseng pakai testpack dan ternyata garis dua lagi sodara-sodaraaaaa. Alias kesundulan nih. Hahaha.

Keluarga dan teman-teman merespon positif hasil tes yang positif ini (eak). Beberapa mungkin khawatir karena posisi saya tinggal di perantauan dan no ART. Takut saya kecapean (emang iya dan beberapa kali bikin flek huhu). Tapi ada nih satu orang teman saya yang bikin saya kurang nyaman responnya. Beliau tahu saya hamil dari teman yang lain. Langsung japri saya dan bertanya dengan nada judging (ketikan judging). Dia ingin tahu kenapa saya nggak IUD (oke masih wajar), emang saya udah siap secara finansial (hmm?), dan yang terakhir paling bikin saya keki beliau bilang kasihan Allebaby, semoga Allebaby masih terawat (what on earth??)

Ada masalah apa sih sama orang-orang yang secara sadar ngomong nggak enak ke orang lain? Apalagi muslim ya, pasti familiar banget sama "berkata baik atau diam". Misal pemicu beliau ngomong nggak enak ke saya memang karena khawatir dengan Allebaby, pilihan katanya bisa dong yang nggak judging begitu ya. Misal nggak setuju dengan pemberian sufor (karena pada saatnya nanti ASI saya akan berubah jadi kolostrum dan kuantitasnya nggak mencukupi kebutuhan energi Allebaby) ya cara ngomongnya bisa tuh kayak dokter obgyn saya. "Bu, sebisa mungkin ASI masih dikasih ya, kolostrum itu baik buat kecerdasan. Tapi kalau dari segi kuantitas memang kurang, jadi mpasi nya ditambah. Atau boleh juga tambah susu UHT di atas satu tahun". Misal si teman khawatir Allebaby kurang kasih sayang, ya apa kek kirim artikel psikologi bagaimana sebaiknya orangtua dengan anak kelahiran jarak dekat menyiasati sibling jealousy. Perhatian dan julid beda tipis tapi tetap terasa bedanya. Bilang semoga anak saya tetap terawat itu JULID, sis. Tak kepruk ulekan lho drijimu.

Sungguh memancing esmosi.

Setelah japri pedas boncabe level 10 itu (yang ajaibnya saya tanggapi dengan kalem), beliau posting di sosial medianya. Entah ini cocokologi saya saja, atau memang berkaitan, beliau posting tentang bagaimana beliau selalu berusaha maksimal jika menginginkan sesuatu. Mulai dari sekolah, melamar kerja di tempat bergengsi, sampai sekarang beliau ingin hamil pun dipersiapkan dengan baik, tidak hanya menunggu keberuntungan. Hmm, kalau ini ada kaitannya dengan saya, yah berarti beliau menganggap saya beruntung? Alhamdulillah ya 😅😅😅

Pengalaman terlempari (wkwk) mom-shaming ini membuat saya banyak istighfar dan berjanji pada diri sendiri untuk nggak melakukan hal yang sama pada orang lain. Menjadi ibu itu sudah cukup menyita energi lahir batin, jangan ditambah kurang kerjaan nyakitin hati ibu-ibu lain. Atau menjudge pilihan pribadi mereka. Kalau niatnya baik, harus ada effort mikir cara penyampaian yang baik. Kalau ada masalah di rumah tangga sendiri, jangan lashing out ganggu kehidupan orang lain (eak). Mending curhat di blog kayak saya. Yang diperlukan ibu-ibu, terutama teman dekatmu yang sudah jadi ibu-ibu adalah dukungan, empati, dan nasihat yang disampaikan dengan lemah-lembut.

Sekian curhatan saya siang ini. Mau ke toilet lagi buat muntah-muntah mumpung my firstborn lagi tidur siang.

Wassalam.