Pages

Monday, November 28, 2011

The First Daughter's Horror


Ini postingan random dan sedikit galau oleh saya, yang sedang sibuk jadi time-waster dan sibuk pula cari-cari alasan untuk men-skip pengerjaan skripsi (lagi). Padahal tinggal revisi sedikit (definisi 'sedikit' agak bias,sih.haha), maka saya sudah bisa berteriak 'Hasta La Vista Kehidupan Mahasiswa!' dengan lantang.

Intinya sih, saya lagi pengin cerita tentang betapa beratnya beban hidup sebagai first daughter, err, anak perempuan pertama maksudnya, fyi: (tentu saja) bapak saya bukan presiden. Ah ya, saya first granddaughter juga dari kedua pihak orangtua saya. Beban hidup itu adalah ditanya-tanya dan digadang-gadang untuk segera walk down the aisle dengan pasangan yang seiman, mapan, dan tampan. Heheu.

Awalnya sih, topik itu cuma diangkat sesekali ketika saya berkunjung ke rumah nenek yang terletak di desa, dengan hubungan antartetangga yang masih sangat erat. Kalau yang ini saya tidak merasa tergengges karena sudah terjadi sejak saya menginjak remaja. Para panelis pun hanya tetangga-tetangga yang standar usia pernikahannya berbeda dengan saya dan keluarga. Saya malahan senang karena kerap diperbincangkan dengan kalimat seperti: 'aduh,putune wes perawan', dalam artian sudah cukup dewasa. Somehow, disebut perawan membuat saya merasa seksi, entah apa hubungannya :p

Tapi lambat laun usia saya pun mendekati usia standar pernikahan keluarga saya. Dan para nenek serta tante mulai menjadi gerah. Setiap ada reuni keluarga besar dan beberapa sepupu jauh sebaya membawa calon pasangannya, saya waswas mengamati reaksi para tante. Mata para tante tajam mengawasi saya, tersenyum senang seperti melihat barang diskonan, or else. Hehe.

Akhir-akhir ini do'a nenek setiap saya memeluknya saat datang berkunjung juga agak di-improve. Yang dulunya hanya mencakup poin anak berbakti dan kesuksesan akademis, kini ditambah (i've guessed this before, sigh) jodoh. Dan makin hari do'a tentang poin terakhir ini makin eksplisit dan detail.

Pergerakan nenek yang sangat smooth ini membuat saya lengah dan lupa dengan barisan para tante. Sampai suatu hari, tante yang terdekat dengan saya mengajak ngobrol berdua, wajahnya penuh senyum. Hm, saya merasakan dorongan ingin lari. Ada yang tidak beres. Tante berbicara dengan sangat smooth juga sih, tapi substansi dialog ini jelas sangat hardcore.

"Kamu mau nggak, Tante kenalkan dengan....."

Nooooooooooooooooooooooooo. Jangan Tanteeeeeee, saya masih terlalu mudaaaaaaaaaaaaa......

Rupanya Tante menyadari muka saya yang memucat, bibir membiru, dan senyum tipis saya yang mirip psikopat Ibu Dara.

"Kalau nggak mau, nggak pa-pa sih. Tapi mbok ya pacarnya sesekali dibawa ke sini, dikenalin," Tante tersenyum malu-malu. Saya jauh lebih malu lagi.

Setelah peristiwa horor babak pertama, yang unfortunately rasanya bukan yang terakhir itu, kehidupan saya kembali (agak) normal. Tidak ada acara reuni keluarga dalam waktu dekat sehingga saya bisa bernafas lega..... sampai kemarin. Sampai sebelum saya mendengar percakapan Ibu dengan teman lamanya di telepon. Fyi: saya tidak menguping, saya sedang mengobrol santai dengan Ibu saat ada telepon masuk, dan Ibu membiarkan saya mendengar percakapan itu. Entah kenapa saya harus menjelaskan, ya (O_o)\

Ibu : Kapan mampir ke rumah?
Teman : Nanti aja kalau 'njenengan mantu
Ibu : ........... (lalu menoleh ke arah saya dengan senyum senang seperti melihat barang diskonan)

Lalu saya bersiap untuk adegan babak berikutnya, saya buka gulungan skenario kehidupan asmara (yang diinginkan keluarga) dengan hati berdebar-debar,,

Title : First Daughter's Horror
Author : Destiny
Chapter Two

Fade in........



ps: image taken from marieclaire via dramabeans