Pages

Saturday, August 15, 2020

How I Met le Hubby (2)

Saya udah cerita sampai mana ya di part sebelumnya? wkwk bentar scroll back dulu

Yak oke udah inget. Jadi akhir April 2016 setelah om dan tante berusaha jadi matchmaker, saya rajin ngadu ke Allah perihal jodoh. Sebelumnya udah sering ngebatin sih. Pas menjelang atau setelah kajian di masjid Al Azhar atau masjid Nurul Iman Blok M, biasanya. Kalau melihat pasangan yang datang kajian bersama suka memohon jodoh yg saling membantu urusan dunia dan akhirat ke Allah. Tapi paska forum Sentul, saya berdoa formally. Di waktu-waktu mustajab dan bahkan jadi rajin sholat dhuha. Saya benar-benar takut dilamar keponakan teman om yang saya kurang sreg di pertemuan pertama itu. Eak.

Apakah doa-doa desperate saya ngeberisikin penduduk langit apa gimana, ya. Qadarullah ngga lama setelah itu ada teman satu geng (iya saya masih suka geng-gengan bahkan pas udah kerja 😂) yang bertanya apa saya 'available'. Ada teman kuliahnya yang ingin berkenalan setelah melihat foto saya yang dipost teman di Instagramnya. What. Hal pertama yang saya lakukan adalah mengecek postingan foto itu dan dalam hati mengomentari diri sendiri "hmm ya bagus sih emang angle-nya. Keliatan imut emang gue, ya". Wkwk. Jomblo harus narsis biar pede~

Setelah puluhan tahun benci kenal-kenalan random dan bertukar nomor hape, kali itu saya bertukar nomor hape dengan ridho dan penuh harap. Apakah lelaki ini yang akan menyelamatkan saya dari perjodohan yang (kayaknya sih) ngga (begitu) saya inginkan? Pertukaran nomor hape ini saya lakukan dengan teman saya V di lobby kantor. Saat itu sedang berlangsung kegiatan donor darah untuk merayakan HUT kantor. Teman segeng kami yang lain, D, bertugas mencatat nama-nama pendonor dan mengarahkan mereka ke ruang dimana petugas PMI menunggu. D yang juga tahu dan iba pada kejombloan saya nyeletuk;

"mbak, ini ada cowo lantai atas yang jomblo nih bisa jadi gebetan. Ntar gue tunjukin yang mana orangnya".

Saya sekilas melihat papan nama yang dipegang D dan membaca nama calon gebetan. Namanya lucu juga. Tapi...

"ini setahun lebih muda dari gue, nih. Males ah, brondong", ujar saya sambil berusaha ngga deg-degan membalas chat pertama dengan lelaki yang dikenalkan V.

Beberapa pekan mengobrol ringan dengan lelaki teman V, saya ngga sreg juga. Tapi masih agak mendingan dibanding lelaki yang dijodohkan. Suatu hari di bulan Ramadhan, lelaki teman V mengajak saya bertemu di Metropole. Ngabuburit (ah elah) bertatap muka setelah selama ini hanya ngobrol via whatsapp. Saya bener-bener deg-degan dan ngga nyaman sampai sakit perut saat bersiap-siap sepulang dari kantor. Karena terlalu tegang, sepertinya saya ngga fokus membalas chatnya, yang berakhir dengan kesalahpahaman. Saya udah duduk di lobby bioskop sambil mules, eh, si lelaki mengira kami ngga jadi ketemuan sehingga dia pulang ke rumah orangtuanya di Bekasi. Dan butuh waktu lumayan lama untuk kembali ke Jakarta, bertemu saya di Metropole. Entah kenapa saya malah merasa lega dan merasa ini clue kalau he was not the one. Aslinya sih saya nyari-nyari pembenaran untuk ngecut komunikasi karena saya (as always) merasa kurang sreg.

Keesokannya D bercerita kalau sore sebelumnya dia ikut bukber di lantai atas, kantor pacarnya yang beda perusahaan tapi satu gedung dengan kantor kami.

"mbak, semalem ada yang minta kontak lo tuh. Anak kantor atas tapi udah resign. Namanya R", kata D.

Rasa-rasanya pernah mendengar nama itu tapi ngga ingat dimana. Saya cuma tersenyum (sok) penuh misteri dan berjalan (sok) elegan ke arah kubikel saya untuk bekerja. D berteriak-teriak bertanya kapan saya mau pensiun jadi jomblo. Sesampainya di kubikel, hal pertama yang saya lakukan adalah stalking sosmed R. Ih, anak gaul Jakarta. Saya amati taggingnya di Instagram. Ih, fotonya mepet-mepet cewe. Masih mending si lelaki yang gagal kopdar di Metropole kayaknya. Saya pun menelepon meja D; 

"awas jangan kasih nomer hape gue ya", ujar saya

"dih kapan mau kewong lu mbak, ngasih nomer aja kagak mau", timpal D sambil menutup teleponnya.

Hari-hari berikutnya saya jalani dengan agak waswas menunggu om menghubungi saya. Saya berdoa om sibuk banget sampai lupa pada urusan matchmaking. Saya juga malas-malasan membalas chat lelaki gagal kopdar karena kami kurang nyambung. Kalu kata Marie Kondo, obrolan kami ngga sparks joy. Tiba-tiba ada notifikasi DM Instagram. Dari akun non follower saya. Isinya; 

"Siang kak, boleh minta contact, ngga?"

Lah. Si R. 



-bersambung ke part 3

Saturday, July 18, 2020

Perempuan dari Masa Depan

Ardhan seorang trolley boy teladan.
Sudah tiga bulan ia bekerja di supermarket mall besar itu dan atasannya puas dengan kinerjanya. Ia datang paling pagi dan tak pernah menolak lembur. Belum pernah sakit atau minta cuti. Di hari-hari sibuk, ia juga bisa jadi kasir pengganti. Ingatannya kuat dan tangannya cekatan. Ardhan bisa mengetik angka-angka untuk struk jauh lebih cepat dari kasir senior. Di akhir hari saat penghitungan isi laci kasir, jumlahnya tak pernah meleset. Bang Moka, supervisornya, mengajukan promosi Ardhan selepas masa kontrak tiga bulannya. Ia akan diangkat menjadi pegawai tetap bagian kasir. Selesailah sudah karirnya sebagai trolley boy.

Setiap malam sepulang dari supermarket, Ardhan menaiki vespa tuanya yang sering mogok itu untuk kembali ke kontrakan sempit tempat ia tinggal dengan saudara kembarnya, Hardin. Mereka bukan kembar identik tapi masih ada kemiripan yang terlihat. Dua pemuda yang baru dua tahun lulus SMA itu sering dikira kakak beradik. Hardin kakak yang lebih tampan tapi Ardhan adik yang lebih luwes bergaul. Kehidupan mereka sulit sejak kecil. Berhutang nasi ke warteg dan menunggak spp sekolah jadi kenangan yang lekat di memori mereka. Konon Mamah dan Papah dulu anak-anak orang kaya yang kawin lari sehingga tak lagi diterima keluarga besar mereka. Mendengar cerita itu, yang ada di pikiran Ardhan hanya pertanyaan kapan kakek kaya-raya yang tidak pernah ia kenal akan mengetuk pintu kontrakan petak bobrok mereka dan mengentaskan mereka dari kemiskinan.

Sampai Mamah meninggal saat mereka duduk di kelas 3 SMA, kakek imajiner itu belum muncul. Papah sudah lari jauh sebelum itu. Mereka tak ingat tepatnya, tapi sepertinya saat mereka SMP. Ardhan dan Hardin ribut berebut tempe terakhir di meja makan. Papah berdiri lalu meninju pipi kanan Ardhan dan pipi kiri Hardin lalu pergi ke luar rumah membawa tas ransel kecil berisi kaos dan sarungnya dan tak pernah kembali. Mamah bilang Papah pulang ke rumah orang tuanya di luar kota.

Bulan-bulan terakhir sebelum Mamah meninggal, adalah bulan yang berat bagi mereka bertiga. Ardhan dan Hardin bersekolah sambil melakukan pekerjaan serabutan apa saja untuk makan dan membiayai pengobatan stroke Mamah. Sering mereka berdua hanya minum air putih seharian dan membeli permen kopi saat jadwal Mamah terapi. Mereka jadi sering bolos sekolah dan bagi yang memperhatikan dengan jeli, akan tampak makin kurus dari hari ke hari.

Salah satu orang yang memperhatikan perubahan fisik Ardhan dan Hardin itu adalah Pak Guru Kasmadi, guru matematika di sekolah mereka. Pak Kasmadi punya tetangga yang juga bernama Kasmadi di lingkungan RT yang sama di kompleks tempatnya tinggal. Jadi untuk membedakan, panggilan mereka adalah Pak Guru Kasmadi dan Pak Polisi Kasmadi. Pak Guru Kasmadi memperhatikan keadaan dua muridnya yang paling pintar di angkatan mereka di sekolah itu, si kembar Ardhan-Hardin. Di sekolah swasta berakreditasi buruk dengan murid anak-anak kelas bawah yang tidak terlalu ceedas, si kembar bersinar bagai berlian dalam lumpur. Mereka tampan dan pintar. Tapi mereka juga miskin. Di tahun terakhir sekolah, mereka tampak selalu kelaparan. Pak Guru Kasmadi suka menyuruh mereka melakukan tugas-tugas sepele seperti membongkar kardus LKS baru atau menginventarisir alat olahraga di sekolah hanya untuk mencari alasan memberi mereka sedikit uang. Uang dari Pak Guru Kasmadi membuat Ardhan dan Hardin bisa sesekali makan nasi telur rebus di rumah makan Padang dan membayar sebagian utang nasi kuah sayur tahu di warteg langganan mereka.

Setelah Mamah meninggal, kondisi keuangan Ardhan membaik. Ia menabung sebagian besar penghasilannya sebagai kasir. Upah Hardin sebagai asisten koki rumah makan sebenarnya lebih besar dari Ardhan, tapi pacar-pacarnya lebih high maintenance. Jadi kadang kontrakan mereka pun Ardhan yang membayar bagian lebih banyak karena Hardin kehabisan uang di tengah bulan, setelah mentraktir makan pacarnya di restoran mahal.

Ardhan bukannya tak punya pacar. Ia punya kekasih yang manis dan baik hati, Juni, pegawai restoran pizza di seberang supermarket tempatnya bekerja. Juni tak pernah minta ditraktir di tempat mahal atau pergi ke bioskop. Ia cukup puas duduk di pinggir jalan dan makan bubur ayam berdua dengan Ardhan. Ia juga sering memberi makanan untuk Ardhan yang menurutnya terlalu ekstrim dalam berhemat sampai tak pernah sarapan dan makan siang. Ardhan merasa hari-harinya berlangsung dengan cukup nyaman dan tenang. Mungkin tiga atau empat tahun lagi tabungannya cukup untuk membangun hidup bersama Juni. Nasihat Pak Guru Kasmadi agar ia melanjutkan kuliah disimpannya dalam kotak terkunci dalam kepalanya. Ada berbagi mimpi di kotak itu yang sudah ia relakan untuk tak terwujud. Bisa mendapat penghasilan yang cukup untuk makan dan menabung sudah lebih dari yang bisa ia bayangkan selama ini. Hidupnya terlalu keras sehingga pencapaian seminim apapun sudah cukup.

Tadinya itu yang ia pikirkan.

Sampai di suatu sore yang cerah dan berangin dan biasa saja, terjadi hal luar biasa. Hal aneh yang tak pernah ia bayangkan mampu membuka kunci kotak spesial dalam kepalanya.

Sore itu Ardhan menuntun vespanya yang mogok di pinggir jalan yang cukup sepi. Ia sudah terbiasa dengan mogoknya Si Tua jadi hal itu terasa ringan saja. Ia berjalan sambil bersenandung dan mengingat-ingat di mana letak bengkel vespa yang sering ia lewati. Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki pendek berjaket jins lari menuju ke arahnya. Tak jauh di belakang lelaki itu, seorang ibu paruh baya mengejar sambil berteriak;

"Jambretttt, jambreeettt. Mas, tolong tangkap itu jambret tas sayaaaa", teriak si ibu saat melihat Ardhan. Ardhan segera menaruh vespanya dan menghadang si jambret yang semakin dekat dan berlari ke arahnya. Ardhan menabrakkan diri sehingga ia dan si jambret terjatuh berguling-guling ke lantai paving sebuah ruko yang sepi. Ia sempat menarik tas yang dijambret dari tangan lelaki berjaket jins itu namun tiba-tiba ia merasakan panas dan perih di leher kanannya. Ia tangkupkan tangannya ke leher dan sesuatu yang basah memenuhi telapaknya. Darah segar. Si penjambret ternyata menusuknya lalu berdiri sambil masih membawa pisau kecil berlumuran darah Ardhan. Ia bergegas lari saat terdengar suara massa di seberang jalan. Si Ibu yang dijambret mengambil tasnya dari tangan Ardhan lalu hilang di kerumunan massa yang masih terus mengejar penjambret.

Ardhan sendirian di depan ruko kosong itu. Duduk bersandar pada sebuah tiang sambil terus menekan lehernya. Orang-orang yang tadi mengejar si penjambret tak menyadari keadaannya, ia juga mulai lemas dan merasa tak punya cukup tenaga untuk berteriak minta tolong. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mengumpat saat melihat layarnya mati karena kehabisan baterai. Ia baru akan memikirkan cara menyelamatkan diri yang tak butuh banyak tenaga ketika melihat sepasang sandal rumah di dekatnya. Ia mendongak dan melihat seorang perempuan yang lebih tua darinya, mungkin berusia tiga puluh tahunan memakai gaun pengantin sederhana. Perempuan itu menangis hingga airmata dan ingus mengotori mukanya yang cukup cantik.

"Sayangkuuu...", ia menangis memanggil Ardhan lalu berlari ke pinggir jalan raya dan berteriak meminta pertolongan.

Satu jam berikutnya Ardhan akan mendengar cerita-cerita aneh dari Si Gaun Pengantin. Cerita yang sulit dipercaya tapi cukup menghibur dan membuatnya terjaga selama perjalanan ke rumah sakit. Perawat yang menggotongnya ke ambulans dan membebat lehernya dengan gumpalan tebal kasa meminta Si Gaun Pengantin mengajak Ardhan berbicara agar ia tak tidur. Kalau sampai Ardhan tertidur, keadaannya akan berbahaya. Ardhan yang mendengar percakapan mereka berusaha fokus pada cerita Si Gaun Pengantin dan mati-matian menahan kantuknya. Ia belum ingin mati.

"Sayang, ini Aruna", kata Si Gaun Pengantin. Ia tampak akan menyentuh tangan Ardhan yang bebas dari jarum infus tapi urung.
"Ini tahun pas kamu kerja di supermarket, ya?", tanya Aruna sambil mengamati seragam kerja Ardhan. Airmatanya masih berlinang. Ardhan berpikir mungkin perempuan bergaun pengantin ini pasien gila yang lepas dari pengawasan. Tiba-tiba ia takut pasien gila ini mengamuk dan membuat lukanya makin parah. Perawat yang menemani mereka terlalu jauh duduk di ujung dekat pintu sambil menonton sesuatu di ponselnya. Ardhan berusaha waspada tapi badannya terasa lemas.

"Sekarang kita belum saling kenal. Tapi nanti kita akan kenal dan merencanakan pernikahan", Aruna terisak.

"Aku ngga pernah mau ikut campur cerita di masa lalu tapi tadi aku ngga bisa lihat kamu berdarah... gitu...", Aruna sesenggukan. Ardhan hanya memandangnya dengan iba. Pasien gila di hadapannya ini adalah penyelamat nyawanya.

"Ada kemungkinan jalan hidup kita ke depan berubah karena kejadian ini. Aku takut... takut kita ngga ketemu di masa depan...", airmata Aruna berlinang, ia mengusap ingusnya dengan bagian bawah gaun pengantinnya. Aruna lalu terdiam memandangi cincin melingkar di tangan kirinya. Cincin yang lalu ia pegang erat-erat sampai jari tangan kanannya memutih. Keheningan lima menit itu terusik ketika si perawat mendongak dari ponselnya dan berbicara pada Aruna.

"ngomong lagi, Mbak. Itu Masnya udah mulai ngantuk. Bahaya"

Aruna kembali memandangi wajah Ardhan dengan mata yang bengkak karena menangis. Perlahan-lahan ia tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Airmatanya jatuh lagi.

"Yah, misal di masa depan kita ngga ketemu, semoga kamu tetep punya sedikit ingatan tentang kita, ya. Kalau memoriku pasti lenyap sejam setelah kembali ke waktu presentku. Walaupun pasti kucatat kejadian ini, tapi rasanya pasti beda. Perasaannya pasti beda...", Aruna menekan dadanya dengan kepalan tangan. Ardhan berpikir wanita di hadapannya ini pasti bisa jadi aktris film yang baik. Aktingnya sangat meyakinkan. Ia tampak sangat mencintai Ardhan. Ardhan bahkan tak pernah melihat ekspresi seperti ini di muka Juni. Padahal Juni pernah menemaninya operasi setelah kecelakaan yang cukup parah setahun lalu. Ia koma dua hari dan saat siuman, orang pertama yang dilihatnya adalah Juni. Tapi Juni tidak menangis, ia berceloteh gembira tentang toko es krim baru di depan mall tempat mereka bekerja. Juni ingin mentraktir Ardhan secepatnya ia keluar dari rumah sakit.

"Aku mau cerita tentang kita, ya. Agak aneh mungkin tapi inget-inget aja. Dan kalau bisa tolong cari aku di masa depan, ya", Aruna tersenyum tipis. Ardhan refleks ikut tersenyum. Lagipula ia suka juga dengan fantasi time-travelling.

"Aku tunanganmu di masa depan. Sepuluh tahun dari sekarang. Besok kita menikah, kalau saja aku bisa menahan diri untuk ngga nolongin kamu tadi", ada nada menyesal dalam suara Aruna tapi lebih banyak kesan pasrah.

"Terakhir kali aku nolongin orang dan ngubah jalan takdir, pas aku balik ke present time, Papa ternyata meninggal. Aku udah cerita kan? Eh, sekarang belum ya", ujar Aruna sambil menerawang. Mengamati tetes cairan di botol infus yang terpasang ke lengan Ardhan.

"Ini tahun berapa, sih? Kamu masih pacaran sama teman kerja satu mall, ya? Juni kan, namanya?", tanya Aruna. Ardhan menjengit kaget. Pasien gila bergaun pengantin ini kenapa bisa tahu nama Juni? Apa sekedar kebetulan? Atau dia stalker? Kemunculannya yang tiba-tiba di depan ruko kosong di jalanan yang lengang terasa sangat mencurigakan. Apa Aruna ini hantu? Tapi perawat yang masih saja menonton sesuatu dengam serius di ponselnya itu juga bisa melihat dan berbicara dengan Aruna. Kaki Aruna juga tidak melayang. Ardhan menggeleng kecil mencoba menjernihkan kembali pikirannya. Ia lemas dan ngantuk parah, mungkin efek pendarahan leher membuatnya berhalusinasi. Ia memutuskan rileks dan menikmati saja kisah Aruna yang absurd. Tidak ada ruginya, itu membantunya terus terjaga sampai di rumah sakit nanti. Jalanan di jam pulang kantor macet parah. Sudah lima belas menit mereka stuck di tempat yang sama. Sopir ambulans berteriak dari kursinya di depan,

"kayaknya lebih dari sejam nih kita baru nyampe IGD"
"ashiap", sahut si perawat acuh tak acuh.

"Pak, teman saya gimana kalau kita kelamaan di jalan?", Aruna terdengar sedikit histeris. Ardhan ikut deg-degan memikirkan lehernya yang masih saja terasa basah dan panas walaupun sudah tidak terlalu perih.
"kalau melek terus aman, Mbak. Coba ngobrol lagi. Jangan sama saya ngobrolnya", si perawat tersenyum lelah. Mungkin banyak pasien yang telah ia evakuasi sebelum Ardhan hari ini.

Aruna menatap lurus-lurus mata Ardhan,
"kita ketemu di Sorbonne"

Ardhan sedikit kecewa. Cerita Aruna tidak sefantastis yang ia kira. Ia mengharapkan kisah epik yang jauh dari realitasnya. Mungkin mereka bertemu di luar negeri, sepuluh tahun dari sekarang ia berharap sudah bertemu dengan kakek kaya-rayanya dan berubah status sosial. Namun sepertinya dalam khayalan-pun ia hanya menjalani kehidupan normalnya. Aruna bilang mereka bertemu dimana di masa depan? Subang?




Saturday, May 23, 2020

How I Met le Hubby (1)

Blog post kali ini tentang bagaimana saya bertemu dengan lelaki yang kini menjadi cuamicuu~. I am a hopeless romantic and i adore love story. Jadi ya seneng aja mengingat-ingat kisah perkenalan kami yang padat, singkat, dan fokus ke pelaminan tapi ga kalah unyunya dengan drama Korea. Wkwk. Cerita ini saya tuliskan sebagai pengingat bahwa we were two people in sweet love story, yang kadang akhir-akhir ini terlupa karena practicality kehidupan rumah tangga. Dan semoga manisnya dapat meluluhkan hati saya ketika ngambek random ke si Uda 😂

So i was always bertanya-tanya bagaimana rasanya saling mencintai dengan seseorang. Yah gimana ya saya kan ngga ada pengalaman pacar-pacaran. Sebenarnya bukan karena alim banget sih (lol) tapi karena saya kekanak-kanakan (?). Saya sering jatuh cinta pada karakter fiksi di novel atau komik yang saya baca, tapi pada lelaki di dunia nyata, saya gampang banget ilfil. Banyak kali saya ngefans pada beberapa lelaki sepanjang masa single saya mulai remaja, selalu berakhir sebagai ngefans satu arah saja atau saya lari ketika si obyek fangirling meng-approach saya. Kalau si lelaki yang saya sukai ini ternyata balik menyukai saya, saya akan langsung dapat 1001 kelemahan manusiawinya yang akan membuat saya ilfil dan kabooorrrr~ 😂😴

Keabsurdan kehidupan percintaan saya terus berlangsung dari saat baligh (wkwk) sampai di suatu sore yang biasa-biasa saja di bulan April 2016. Saat itu usia saya 27 tahun, sudah bekerja, hobi travelling ala-ala, dan jadi obyek bully bapak-bapak kolega kantor yang jauh lebih tua dari saya. Di kantor saya pada saat itu memang ngga terlalu banyak staf berusia muda dan lajang. Hanya ada beberapa orang dan semuanya sudah punya pacar kecuali saya~

Teman-teman kantorlah yang saat itu gelisah melihat saya masih lalalili menjomblo ngga jelas. Sayanya sih lagi dalam keadaan zen karena agak rajin ikut kajian di Al Azhar dan Masjid Nurul Iman Blok M. Walopun yaaaa tiap pulang kajian yang after office hour itu saya suka membayangkan enaknya kalau yang membonceng saya pulang adalah my significant other alih-alih bapak gojek random 😂

Di hari ulang tahun saya yang ke-27, Oom dan tante yang juga waswas melihat kejombloan saya akhirnya mengenalkan saya pada seorang lelaki, keponakan teman satu komunitas mereka. Saya, Oom, tante, si lelaki, tantenya, dan anak si tante bertemu di sebuah restoran di Sentul. Kami berusaha mengatasi kecanggungan perjodohan dan ngobrol awkward tentang hobi dan pekerjaan. Hasil dari pertemuan itu adalah saya sakit perut dan minta melipir ke toilet rest area tol. Ternyata saya menstruasi dini sodara-sodaraaaa. Maju dua minggu dari jadwal, hal yang beberapa kali terjadi ketika saya under pressure. Perjodohan itu berat. Huhuhu.

Saya ngga merasa klik dengan si lelaki, tapi saya takut salah langkah jika langsung menolak perjodohan itu. Oom saya bilang agama dan akhlak si lelaki ini baik. Dan saya pernah sekilas membaca tentang anjuran untuk menerima pinangan pria yang baik agama dan akhlaknya. GR banget yaa padahal masnya juga belum meminang dan kami juga belum memutuskan untuk bertemu kembali.

Yang jelas sejak pertemuan itu saya jadi berasa desperate. State zen saya agak goyah. Saya benar-benar takut akan menikah dengan lelaki yang tidak menarik hati saya. Ntar bisa bahagia ngga kalo saya aslinya ngga suka. Jangan-jangan malah merasa menderita ketika harus melayani karena saya ngga suka. Pokoknya mikirnya suka ngga suka aja khas hopeless romantic. Saya ngga pragmatis sama sekali kalo masalah percintaan. Alhasil saya nangis-nangis terus tiap malam, mengadu pada Allah. Memohon agar saya dipertemukan dengan jodoh sebelum si mas ponakan temen Oom ini follow up, atau ya tolonglah ya Allah itu hati si masnya dialihkan aja biar ngga suka sama saya. Sungguh doa yang kepedean 😂

Nah, apakah mas-mas perjodohan ini yang akan menjadi ayah dari anak-anak saya yang gemas-gemas di masa mendatang? Bersambung ke part 2.........

Wkwkwk

Friday, January 3, 2020

Intro to Writing for Healing

Beberapa tahun terakhir pasca meninggalnya adik, saya belajar untuk lebih sabar dan (berusaha) jadi pribadi yang kalem. Karena dalam sebuah hadits disebutkan tidak ada yang menyertai kelembutan kecuali kebaikan. Redaksi haditsnya saya lupa namun intinya seperti itu. Saya yang sedari remaja bermulut tajam ingin berubah. Saya sudah cukup banyak dosa tanpa perlu menambahnya lagi dengan dosa menyakiti hati orang lain karena tak bisa menaklukkan lidah sendiri. Saya merasakan efek positif dari usaha saya itu. Rasanya hidup saya lebih ringan dan tenang. Tanpa saya sadari sebelumnya, setiap berkata sarkas, terselip arogansi. Dan arogansi itu mengotori hati.

Namun efek 'negatif' dari usaha saya menahan diri adalah ada emosi yang tertahan. Yang memenuhi bendungan emosi dalam kepala saya dan mengancam jebol sewaktu-waktu. Kepala saya terasa berat dan saya jadi lashing out pada orang-orang terdekat karena hal sepele. Alhamdulillah hari ini saya menemukan tulisan seorang terapis healing tentang #writingforhealing. Saya merasa inilah yang saat ini saya butuhkan selain menumpahkan semuanya di atas sajadah dan juga curhatkan ke suami. Saya perlu menuliskan semuanya dan membacanya lagi berulang-ulang. Menyelami rasa tidak nyaman saya bukan berpura-pura rasa tidak nyaman itu tidak ada.

So here we go. My first babbling. Semoga bila dalam tulisan saya menceritakan tentang keburukan orang lain, itu tidak dicatat sebagai membuka aib sesama muslim :( Saya asumsikan tidak ada yang membaca blog ini. Dan kalaupun ada, hanya kebetulan yang kans nya kecil. Sama seperti bila saya menulis manual di diary. Selalu ada kemungkinan diary itu terbaca orang lain. Karena itulah saya memilih platform ini untuk menumpahkan uneg-uneg saya instead of a diary. Telepon selular lebih mudah saya akses dan yah sama aja ga ada yang baca, kok. LoL.