Beberapa tahun terakhir pasca meninggalnya adik, saya belajar untuk lebih sabar dan (berusaha) jadi pribadi yang kalem. Karena dalam sebuah hadits disebutkan tidak ada yang menyertai kelembutan kecuali kebaikan. Redaksi haditsnya saya lupa namun intinya seperti itu. Saya yang sedari remaja bermulut tajam ingin berubah. Saya sudah cukup banyak dosa tanpa perlu menambahnya lagi dengan dosa menyakiti hati orang lain karena tak bisa menaklukkan lidah sendiri. Saya merasakan efek positif dari usaha saya itu. Rasanya hidup saya lebih ringan dan tenang. Tanpa saya sadari sebelumnya, setiap berkata sarkas, terselip arogansi. Dan arogansi itu mengotori hati.
Namun efek 'negatif' dari usaha saya menahan diri adalah ada emosi yang tertahan. Yang memenuhi bendungan emosi dalam kepala saya dan mengancam jebol sewaktu-waktu. Kepala saya terasa berat dan saya jadi lashing out pada orang-orang terdekat karena hal sepele. Alhamdulillah hari ini saya menemukan tulisan seorang terapis healing tentang #writingforhealing. Saya merasa inilah yang saat ini saya butuhkan selain menumpahkan semuanya di atas sajadah dan juga curhatkan ke suami. Saya perlu menuliskan semuanya dan membacanya lagi berulang-ulang. Menyelami rasa tidak nyaman saya bukan berpura-pura rasa tidak nyaman itu tidak ada.
So here we go. My first babbling. Semoga bila dalam tulisan saya menceritakan tentang keburukan orang lain, itu tidak dicatat sebagai membuka aib sesama muslim :( Saya asumsikan tidak ada yang membaca blog ini. Dan kalaupun ada, hanya kebetulan yang kans nya kecil. Sama seperti bila saya menulis manual di diary. Selalu ada kemungkinan diary itu terbaca orang lain. Karena itulah saya memilih platform ini untuk menumpahkan uneg-uneg saya instead of a diary. Telepon selular lebih mudah saya akses dan yah sama aja ga ada yang baca, kok. LoL.
0 comments:
Post a Comment