Ardhan seorang trolley boy teladan.
Sudah tiga bulan ia bekerja di supermarket mall besar itu dan atasannya puas dengan kinerjanya. Ia datang paling pagi dan tak pernah menolak lembur. Belum pernah sakit atau minta cuti. Di hari-hari sibuk, ia juga bisa jadi kasir pengganti. Ingatannya kuat dan tangannya cekatan. Ardhan bisa mengetik angka-angka untuk struk jauh lebih cepat dari kasir senior. Di akhir hari saat penghitungan isi laci kasir, jumlahnya tak pernah meleset. Bang Moka, supervisornya, mengajukan promosi Ardhan selepas masa kontrak tiga bulannya. Ia akan diangkat menjadi pegawai tetap bagian kasir. Selesailah sudah karirnya sebagai trolley boy.
Setiap malam sepulang dari supermarket, Ardhan menaiki vespa tuanya yang sering mogok itu untuk kembali ke kontrakan sempit tempat ia tinggal dengan saudara kembarnya, Hardin. Mereka bukan kembar identik tapi masih ada kemiripan yang terlihat. Dua pemuda yang baru dua tahun lulus SMA itu sering dikira kakak beradik. Hardin kakak yang lebih tampan tapi Ardhan adik yang lebih luwes bergaul. Kehidupan mereka sulit sejak kecil. Berhutang nasi ke warteg dan menunggak spp sekolah jadi kenangan yang lekat di memori mereka. Konon Mamah dan Papah dulu anak-anak orang kaya yang kawin lari sehingga tak lagi diterima keluarga besar mereka. Mendengar cerita itu, yang ada di pikiran Ardhan hanya pertanyaan kapan kakek kaya-raya yang tidak pernah ia kenal akan mengetuk pintu kontrakan petak bobrok mereka dan mengentaskan mereka dari kemiskinan.
Sampai Mamah meninggal saat mereka duduk di kelas 3 SMA, kakek imajiner itu belum muncul. Papah sudah lari jauh sebelum itu. Mereka tak ingat tepatnya, tapi sepertinya saat mereka SMP. Ardhan dan Hardin ribut berebut tempe terakhir di meja makan. Papah berdiri lalu meninju pipi kanan Ardhan dan pipi kiri Hardin lalu pergi ke luar rumah membawa tas ransel kecil berisi kaos dan sarungnya dan tak pernah kembali. Mamah bilang Papah pulang ke rumah orang tuanya di luar kota.
Bulan-bulan terakhir sebelum Mamah meninggal, adalah bulan yang berat bagi mereka bertiga. Ardhan dan Hardin bersekolah sambil melakukan pekerjaan serabutan apa saja untuk makan dan membiayai pengobatan stroke Mamah. Sering mereka berdua hanya minum air putih seharian dan membeli permen kopi saat jadwal Mamah terapi. Mereka jadi sering bolos sekolah dan bagi yang memperhatikan dengan jeli, akan tampak makin kurus dari hari ke hari.
Salah satu orang yang memperhatikan perubahan fisik Ardhan dan Hardin itu adalah Pak Guru Kasmadi, guru matematika di sekolah mereka. Pak Kasmadi punya tetangga yang juga bernama Kasmadi di lingkungan RT yang sama di kompleks tempatnya tinggal. Jadi untuk membedakan, panggilan mereka adalah Pak Guru Kasmadi dan Pak Polisi Kasmadi. Pak Guru Kasmadi memperhatikan keadaan dua muridnya yang paling pintar di angkatan mereka di sekolah itu, si kembar Ardhan-Hardin. Di sekolah swasta berakreditasi buruk dengan murid anak-anak kelas bawah yang tidak terlalu ceedas, si kembar bersinar bagai berlian dalam lumpur. Mereka tampan dan pintar. Tapi mereka juga miskin. Di tahun terakhir sekolah, mereka tampak selalu kelaparan. Pak Guru Kasmadi suka menyuruh mereka melakukan tugas-tugas sepele seperti membongkar kardus LKS baru atau menginventarisir alat olahraga di sekolah hanya untuk mencari alasan memberi mereka sedikit uang. Uang dari Pak Guru Kasmadi membuat Ardhan dan Hardin bisa sesekali makan nasi telur rebus di rumah makan Padang dan membayar sebagian utang nasi kuah sayur tahu di warteg langganan mereka.
Setelah Mamah meninggal, kondisi keuangan Ardhan membaik. Ia menabung sebagian besar penghasilannya sebagai kasir. Upah Hardin sebagai asisten koki rumah makan sebenarnya lebih besar dari Ardhan, tapi pacar-pacarnya lebih high maintenance. Jadi kadang kontrakan mereka pun Ardhan yang membayar bagian lebih banyak karena Hardin kehabisan uang di tengah bulan, setelah mentraktir makan pacarnya di restoran mahal.
Ardhan bukannya tak punya pacar. Ia punya kekasih yang manis dan baik hati, Juni, pegawai restoran pizza di seberang supermarket tempatnya bekerja. Juni tak pernah minta ditraktir di tempat mahal atau pergi ke bioskop. Ia cukup puas duduk di pinggir jalan dan makan bubur ayam berdua dengan Ardhan. Ia juga sering memberi makanan untuk Ardhan yang menurutnya terlalu ekstrim dalam berhemat sampai tak pernah sarapan dan makan siang. Ardhan merasa hari-harinya berlangsung dengan cukup nyaman dan tenang. Mungkin tiga atau empat tahun lagi tabungannya cukup untuk membangun hidup bersama Juni. Nasihat Pak Guru Kasmadi agar ia melanjutkan kuliah disimpannya dalam kotak terkunci dalam kepalanya. Ada berbagi mimpi di kotak itu yang sudah ia relakan untuk tak terwujud. Bisa mendapat penghasilan yang cukup untuk makan dan menabung sudah lebih dari yang bisa ia bayangkan selama ini. Hidupnya terlalu keras sehingga pencapaian seminim apapun sudah cukup.
Tadinya itu yang ia pikirkan.
Sampai di suatu sore yang cerah dan berangin dan biasa saja, terjadi hal luar biasa. Hal aneh yang tak pernah ia bayangkan mampu membuka kunci kotak spesial dalam kepalanya.
Sore itu Ardhan menuntun vespanya yang mogok di pinggir jalan yang cukup sepi. Ia sudah terbiasa dengan mogoknya Si Tua jadi hal itu terasa ringan saja. Ia berjalan sambil bersenandung dan mengingat-ingat di mana letak bengkel vespa yang sering ia lewati. Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki pendek berjaket jins lari menuju ke arahnya. Tak jauh di belakang lelaki itu, seorang ibu paruh baya mengejar sambil berteriak;
"Jambretttt, jambreeettt. Mas, tolong tangkap itu jambret tas sayaaaa", teriak si ibu saat melihat Ardhan. Ardhan segera menaruh vespanya dan menghadang si jambret yang semakin dekat dan berlari ke arahnya. Ardhan menabrakkan diri sehingga ia dan si jambret terjatuh berguling-guling ke lantai paving sebuah ruko yang sepi. Ia sempat menarik tas yang dijambret dari tangan lelaki berjaket jins itu namun tiba-tiba ia merasakan panas dan perih di leher kanannya. Ia tangkupkan tangannya ke leher dan sesuatu yang basah memenuhi telapaknya. Darah segar. Si penjambret ternyata menusuknya lalu berdiri sambil masih membawa pisau kecil berlumuran darah Ardhan. Ia bergegas lari saat terdengar suara massa di seberang jalan. Si Ibu yang dijambret mengambil tasnya dari tangan Ardhan lalu hilang di kerumunan massa yang masih terus mengejar penjambret.
Ardhan sendirian di depan ruko kosong itu. Duduk bersandar pada sebuah tiang sambil terus menekan lehernya. Orang-orang yang tadi mengejar si penjambret tak menyadari keadaannya, ia juga mulai lemas dan merasa tak punya cukup tenaga untuk berteriak minta tolong. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mengumpat saat melihat layarnya mati karena kehabisan baterai. Ia baru akan memikirkan cara menyelamatkan diri yang tak butuh banyak tenaga ketika melihat sepasang sandal rumah di dekatnya. Ia mendongak dan melihat seorang perempuan yang lebih tua darinya, mungkin berusia tiga puluh tahunan memakai gaun pengantin sederhana. Perempuan itu menangis hingga airmata dan ingus mengotori mukanya yang cukup cantik.
"Sayangkuuu...", ia menangis memanggil Ardhan lalu berlari ke pinggir jalan raya dan berteriak meminta pertolongan.
Satu jam berikutnya Ardhan akan mendengar cerita-cerita aneh dari Si Gaun Pengantin. Cerita yang sulit dipercaya tapi cukup menghibur dan membuatnya terjaga selama perjalanan ke rumah sakit. Perawat yang menggotongnya ke ambulans dan membebat lehernya dengan gumpalan tebal kasa meminta Si Gaun Pengantin mengajak Ardhan berbicara agar ia tak tidur. Kalau sampai Ardhan tertidur, keadaannya akan berbahaya. Ardhan yang mendengar percakapan mereka berusaha fokus pada cerita Si Gaun Pengantin dan mati-matian menahan kantuknya. Ia belum ingin mati.
"Sayang, ini Aruna", kata Si Gaun Pengantin. Ia tampak akan menyentuh tangan Ardhan yang bebas dari jarum infus tapi urung.
"Ini tahun pas kamu kerja di supermarket, ya?", tanya Aruna sambil mengamati seragam kerja Ardhan. Airmatanya masih berlinang. Ardhan berpikir mungkin perempuan bergaun pengantin ini pasien gila yang lepas dari pengawasan. Tiba-tiba ia takut pasien gila ini mengamuk dan membuat lukanya makin parah. Perawat yang menemani mereka terlalu jauh duduk di ujung dekat pintu sambil menonton sesuatu di ponselnya. Ardhan berusaha waspada tapi badannya terasa lemas.
"Sekarang kita belum saling kenal. Tapi nanti kita akan kenal dan merencanakan pernikahan", Aruna terisak.
"Aku ngga pernah mau ikut campur cerita di masa lalu tapi tadi aku ngga bisa lihat kamu berdarah... gitu...", Aruna sesenggukan. Ardhan hanya memandangnya dengan iba. Pasien gila di hadapannya ini adalah penyelamat nyawanya.
"Ada kemungkinan jalan hidup kita ke depan berubah karena kejadian ini. Aku takut... takut kita ngga ketemu di masa depan...", airmata Aruna berlinang, ia mengusap ingusnya dengan bagian bawah gaun pengantinnya. Aruna lalu terdiam memandangi cincin melingkar di tangan kirinya. Cincin yang lalu ia pegang erat-erat sampai jari tangan kanannya memutih. Keheningan lima menit itu terusik ketika si perawat mendongak dari ponselnya dan berbicara pada Aruna.
"ngomong lagi, Mbak. Itu Masnya udah mulai ngantuk. Bahaya"
Aruna kembali memandangi wajah Ardhan dengan mata yang bengkak karena menangis. Perlahan-lahan ia tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Airmatanya jatuh lagi.
"Yah, misal di masa depan kita ngga ketemu, semoga kamu tetep punya sedikit ingatan tentang kita, ya. Kalau memoriku pasti lenyap sejam setelah kembali ke waktu presentku. Walaupun pasti kucatat kejadian ini, tapi rasanya pasti beda. Perasaannya pasti beda...", Aruna menekan dadanya dengan kepalan tangan. Ardhan berpikir wanita di hadapannya ini pasti bisa jadi aktris film yang baik. Aktingnya sangat meyakinkan. Ia tampak sangat mencintai Ardhan. Ardhan bahkan tak pernah melihat ekspresi seperti ini di muka Juni. Padahal Juni pernah menemaninya operasi setelah kecelakaan yang cukup parah setahun lalu. Ia koma dua hari dan saat siuman, orang pertama yang dilihatnya adalah Juni. Tapi Juni tidak menangis, ia berceloteh gembira tentang toko es krim baru di depan mall tempat mereka bekerja. Juni ingin mentraktir Ardhan secepatnya ia keluar dari rumah sakit.
"Aku mau cerita tentang kita, ya. Agak aneh mungkin tapi inget-inget aja. Dan kalau bisa tolong cari aku di masa depan, ya", Aruna tersenyum tipis. Ardhan refleks ikut tersenyum. Lagipula ia suka juga dengan fantasi time-travelling.
"Aku tunanganmu di masa depan. Sepuluh tahun dari sekarang. Besok kita menikah, kalau saja aku bisa menahan diri untuk ngga nolongin kamu tadi", ada nada menyesal dalam suara Aruna tapi lebih banyak kesan pasrah.
"Terakhir kali aku nolongin orang dan ngubah jalan takdir, pas aku balik ke present time, Papa ternyata meninggal. Aku udah cerita kan? Eh, sekarang belum ya", ujar Aruna sambil menerawang. Mengamati tetes cairan di botol infus yang terpasang ke lengan Ardhan.
"Ini tahun berapa, sih? Kamu masih pacaran sama teman kerja satu mall, ya? Juni kan, namanya?", tanya Aruna. Ardhan menjengit kaget. Pasien gila bergaun pengantin ini kenapa bisa tahu nama Juni? Apa sekedar kebetulan? Atau dia stalker? Kemunculannya yang tiba-tiba di depan ruko kosong di jalanan yang lengang terasa sangat mencurigakan. Apa Aruna ini hantu? Tapi perawat yang masih saja menonton sesuatu dengam serius di ponselnya itu juga bisa melihat dan berbicara dengan Aruna. Kaki Aruna juga tidak melayang. Ardhan menggeleng kecil mencoba menjernihkan kembali pikirannya. Ia lemas dan ngantuk parah, mungkin efek pendarahan leher membuatnya berhalusinasi. Ia memutuskan rileks dan menikmati saja kisah Aruna yang absurd. Tidak ada ruginya, itu membantunya terus terjaga sampai di rumah sakit nanti. Jalanan di jam pulang kantor macet parah. Sudah lima belas menit mereka stuck di tempat yang sama. Sopir ambulans berteriak dari kursinya di depan,
"kayaknya lebih dari sejam nih kita baru nyampe IGD"
"ashiap", sahut si perawat acuh tak acuh.
"Pak, teman saya gimana kalau kita kelamaan di jalan?", Aruna terdengar sedikit histeris. Ardhan ikut deg-degan memikirkan lehernya yang masih saja terasa basah dan panas walaupun sudah tidak terlalu perih.
"kalau melek terus aman, Mbak. Coba ngobrol lagi. Jangan sama saya ngobrolnya", si perawat tersenyum lelah. Mungkin banyak pasien yang telah ia evakuasi sebelum Ardhan hari ini.
Aruna menatap lurus-lurus mata Ardhan,
"kita ketemu di Sorbonne"
Ardhan sedikit kecewa. Cerita Aruna tidak sefantastis yang ia kira. Ia mengharapkan kisah epik yang jauh dari realitasnya. Mungkin mereka bertemu di luar negeri, sepuluh tahun dari sekarang ia berharap sudah bertemu dengan kakek kaya-rayanya dan berubah status sosial. Namun sepertinya dalam khayalan-pun ia hanya menjalani kehidupan normalnya. Aruna bilang mereka bertemu dimana di masa depan? Subang?
0 comments:
Post a Comment