Pages

Saturday, April 17, 2010

twenty first gift

Terima kasih Tuhan,  hari ini usia saya bertambah  satu lagi.
Terima kasih atas semua berkah yang Engkau beri.
Terima kasih atas udara ini, yang masih Kau percayakan untuk saya hirup.
Terima kasih atas anugerah keluarga dan teman-teman yang saya sayangi dan menyayangi saya.
Terima kasih atas segalanya, Tuhan.
I love You,  God,,,,,,,,

Sunday, April 11, 2010

diam itu cokelat

- - -maybe SiLence is cHocoLate till i fouNd the rigHt way to make you undeRstanD- - -
Beberapa pekan terakhir saya sibuk memikirkan cara untuk mengungkapkan sesuatu pada seorang kawan baik. Dia satu dari kawan-kawan yang punya pangkat spesial di hati saya. Sejak awal saya mengenalnya, saya sudah merasa bahwa sebenarnya ia orang yang introvert dan sensitif walaupun dibalut keceriaan layaknya kaum ekstrovert. Jarang sekali ia bercerita hal yang benar-benar penting dalam hidupnya, dia juga tak pernah menangis di hadapan saya. Saya yang punya kelainan Suka Penasaran Sama Urusan Orang ini sering harus bersusah payah dulu mengorek keterangan darinya tentang suatu hal. Sulitnya minta ampun, kalah lah para birokrat korup.

Satu dan lain hal dalam kehidupannya rupanya membuat ia jauh lebih introvert dan super sensitif. Berkomunikasi dengannya pun sekarang tak jarang membuat saya lelah. Lelah berhati-hati menjaga lidah. Apalagi sudah dari orok saya ini suka ceplas-ceplos tidak karuan. Sering ngomong dulu, baru mikir belakangan. Tentu saya paham, menjaga bicara adalah keharusan. Tetapi dulu, di antara kami ada perjanjian tak tertulis bahwa saya dan dia bebas menjadi diri sendiri di hadapan satu sama lain. Dulu perbedaan seperti masalah konyol yang rasanya tidak akan pernah jadi masalah dalam pertemanan kami.

Akhir-akhir ini sungguh banyak hal baru darinya yang mengejutkan saya. Dia tambah cantik *iri mode on. Tambah rajin *iri mode on lagi. Hahaha... Saya sama sekali tidak keberatan atas perubahan ke arah lebih baik itu. Tapi saya juga tidak memungkiri rasa sedih karena beberapa lelucon pribadi kami berdua tidak lagi lucu baginya. Kalau diibaratkan dalam novel Eragon, kami seperti sudah mulai kehilangan hubungan benak. Saya merasa dia terkadang tidak nyaman dengan saya yang terlalu kasar, terlalu messy. Saya jadi sungkan bergaul dengannya seperti dulu. Takut merusak hari-hari indahnya yang syahdu dengan kekonyolan dan kehebohan saya yang -pernah dia bilang- tidak penting =(

Tapi bukan semata-mata perasaan canggung yang mulai menyebar seperti spora jamur ditiup angin di antara kami berdua saja yang membuat bingung. Hemm, beberapa waktu lalu saya mendengar  banyak  komplain tentang  dia dari dari beberapa pihak. Saya yang dulu tentu akan langsung mengungkapkan ini padanya. Saya tidak menyukai permasalahan yang dipendam, kasak-kusuk di belakang punggung. Hasilnya pasti lebih menyakitkan. Prinsip saya, tampar langsung mukanya lalu berbaikan. Tak perlu lempar batu sembunyi tangan. Kawan saya ini rasanya yang paling mengerti jalan pikiran saya. Dulu. Tapi sekarang inilah saya, kebingungan mengungkapkan sesuatu padanya. Saya takut akan tanggapannya, takut dia tersakiti, mimik mukanya yang ditegar-tegarkan itu malah membuat ia terlihat jauh lebih rapuh. Saya juga tidak siap menanggung konsekuensi ikut dibencinya setelah saya mengungkapkan komplain beberapa pihak itu.

Mungkin, seperti halnya dia, saya juga telah berubah. Peribahasa yang dulu saya anggap hanya dilakukan orang-orang yang miskin ekspresi, Silence is Gold, kini juga saya anut. Mungkin untuk sementara saya memang lebih baik diam, mencari cara terbaik untuk berbicara dengan kawan saya. Sementara, saya akan memikirkan dulu skenario yang paling tepat untuk berdialog dengannya. Yang paling aman dan berisiko paling kecil menyakiti hatinya. Sementara, peribahasa itu akan saya tulis di kertas A3 dengan spidol besar lalu saya tempel di dinding kamar. Tapi berhubung saya lebih suka cokelat daripada emas, peribahasa itu akan saya aransemen ulang sedikit, hemm, Silence is Chocolate...