Pages

Thursday, March 29, 2012

to be a jobseeker, to be grateful


Sudah hampir tiga bulan saya sibuk menganggur (ambigu :3). Mencari kerja tentu jalan terus tapi karena jeda antar tes agak berjauhan, sebagian besar waktu saya bisa dibilang habis untuk bersantai. Leyeh-leyeh ndek hamur karo kukur-kukur begitu lah. Hehe. Beberapa teman yang juga berprofesi (halah) jobseeker sudah mulai lelah tes ini-itu dan jadi emosian. Iri berubah jadi dengki, rajin mengeluh, dan mulai su’udzon pada Tuhan. Naudzubillah.

Nasihat untuk sabar seringkali dibalas cibiran “lha kon sek dilut nganggure, ayas iki wes meh setahun” (lha kamu masih sebentar menganggurnya, saya sudah hampir setahun) lengkap dengan pelototan jengkel. Tentu saya juga seringkali merasa jengkel karena mengonggok di rumah saja. Sudah masuk umur dewasa muda, tapi kemampuan finansial tak ada beda dengan balita. Belum mampu memberi apa-apa pada orang tua. Merasa tidak berguna.

Tapi kata-kata kedua orangtua saya kemarin siang serasa siraman air dingin yang menyejukkan. Memotivasi sekaligus mendorong saya untuk lebih bersabar. Berhubung ayah dan ibu saya bukan tipe Golden Ways, tentu saja mereka bukannya mengacungkan tinju ke udara sambil berteriak “jadilah sejahtera dan menyejahterakan orang lain” di hadapan saya. Lebih implisit, agak smooth gitu (opo se iki?). Jadi kemarin saya membuat jus semangka untuk diminum orang serumah. Setelah memberikan jatah masing-masing ke ayah, ibu, dan adik yang sedang berkumpul di ruang tamu sekaligus ruang keluarga sekaligus ruang makan sekaligus garasi (tempat apa ini sebenarnya? :3), saya kembali ke dapur. Sehabis meminum jus semangkanya, ayah dan ibu saya berbincang-bincang dengan tidak berbisik-bisik. Yang maksudnya sih, supaya saya dengar.

Ayah: “Duh, enake duwe anak wedok pengangguran. Malih sering digawekno jus” (Duh, enaknya punya anak perempuan pengangguran. Jadi sering dibuatkan jus)
Ibu: “Iyo,ngene iki kudu bersyukur. Mene lek wes kerjo adoh mosok sempat” (Iya, begini ini harus bersyukur. Besok kalau sudah kerja di tempat yang jauh mana sempat)

Saya jadi senyum-senyum kebelet nangis di dapur. Percakapan ayah dan ibu menyemangati saya, saya tidak akan selamanya jadi pengangguran. Pada saatnya nanti, saya akan mencicipi pahit-manisnya bekerja di perantauan. Ayah dan ibu juga membuat saya merasa less useless. Belum bekerja bukan berati saya tak berguna karena guna tidak hanya datang dari sisi materi. Saya memang belum bisa membantu keluarga secara materi tapi sekarang saya sudah bisa melakukan apa yang dulu tidak bisa saya lakukan (hah,mbulet). Contohnya kalau dulu saat masih kuliah semester-semester awal saya ngekos sehingga tidak bisa membantu ibu di rumah, sekarang saya bisa. Kalau dulu saat sudah tidak ngekos-tapi-masih-skripsi saya sibuk bertapa mencari wangsit, sekarang punya waktu lebih longgar untuk berinteraksi dengan adik. Saya sekarang bisa meringankan beban ibu, membantu adik, dan merawat ayah yang sedang sakit.

Alhamdulillah.

Semua tergantung bagaimana kita memandang berbagai situasi. Kehujanan saat naik motor itu bisa kita anggap bencana tapi bisa juga menjadi hal yang menyenangkan, ingat bagaimana kita begitu girang main hujan-hujanan saat masih kecil. Pun kejadian aneh saya merobohkan pintu ruang interview saat tes kerja. Saya bisa menangisi kemalangan yang mengancam kemungkinan diterimanya saya bekerja di tempat itu, belum lagi rasa malunya, terkilirnya tangan, atau lepasnya pita sepatu saya yang paling mahal karena saya gunakan untuk menahan beban pintu. Tapi saya juga bisa menanggapinya dengan sederhana. Saya bisa tertawa lepas karena kekonyolan itu terlalu komikal dan absurd dan membuat peserta lain yang tegang jadi agak rileks karena menertawakan saya. Ah, jadi cerita hal lain ya.

Intinya saya memang belum bekerja, tapi bukan berarti saya fully menganggur. Toh masih banyak yang bisa saya kerjakan, termasuk meng-improve seni memasak. Saya yang dulu selalu, anehnya, membuat nasi goreng yang rasanya pahit (usut punya usut ternyata bawangnya gosong :’)) sekarang sudah bisa membuat konsumen minta nambah lagi. Icik icik ehem ehem :p

Jadi, hai kawan semua, doakan saya bisa selalu dalam keadaan sadar seperti saat ini. Bersyukur, optimis, mengurangi rasa malas, dan mengurangi kegiatan mengeluh. Karena usut punya usut (halah) hal yang paling melelahkan adalah mengeluh. Keluhan akan menguras energi fisik dan mental. Membuat kita berpikir yang pahit-pahit dan kehilangan tenaga untuk terus berjuang.

Oiya, sekarang saya sedang gandrung pada surat pendek Al-Insyirah, hampir tiap sholat saya lafalkan (Tuhan, semoga Anda tidak bosan). Bahkan saat mengendarai sepeda motor sepulang dari meminjam komik. Surat ini juga menambah nyawa optimisme saya *cium-cium Qur’an.

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai, tetaplah bekerja keras. Dan hanya pada Tuhanmulah engkau berharap” (94:5-8)