Pages

Tuesday, May 18, 2010

Terbunuh Masalah Bodoh


Seringkali contoh-contoh kasus Seperti Ini saya analisis dan pura-pura saya pecahkan. Seperti Ini, akan saya definisikan kemudian. Selalu saya menganggap jawaban dari masalah seperti ini sangat sepele. Segamblang satu ditambah satu yang tak mungkin menghasilkan empat, mutlak dua.

Tapi tidak berlebihan kalau banyak yang bilang, kasus seperti ini di dunia nyata tak mudah didapati solusinya. Dunia anak kuliahan memang surga. Betapa mahasiswa dimanjakan dengan beban dan lingkungan yang mendukung, pelajaran yang dapat dipetik seringkali manis, konflik yang ada seringkali tak bertahan lebih dari 1x 24 jam. Mudah. Serba dimudahkan. Longgar. Banyak keleluasaan.

Sekarang saya akan menerangkan definisi kasus Seperti Ini. Sudah jamak kita dengar mungkin. Seperti Ini adalah permasalahan idealisme. Ketika dunia nyata memaksa kita bertarung melawan idealisme sendiri. Lawan atau mati, teriak si dunia nyata.

Dulu, saya akan menertawakan legenda pertarungan melawan idealisme. Orang yang tak bisa mempertahankan idealismenya pasti orang yang lemah, tak jujur, tak lurus menempuh jalan hidup. Betapa mudah menjaga idealisme itu!, teriak saya. Dulu.

Sebab itu pula-lah dua minggu ini saya sangat sinis terhadap Fi. Fi yang itu. Yang pakai kacamata. Yang cupu. Yang suka menggampangkan persoalan. Yang sok-sok an pasti bisa mempertahankan idealisme. Fi, saya sendiri. I myself….

Dua minggu ini saya magang di sebuah media cetak mainstream-meminjam istilah kawan-kawan pers mahasiswa-yang fokus pada bidang bisnis. Beberapa hari di sana saya sudah merasa salah tempat. Segmentasi pasar media ini menengah ke atas. Bahkan produk ini tak diecer di jalanan. Hanya untuk berlangganan, dengan konsumen institusi-institusi besar dan para pengusaha.

Beberapa hari saja saya merasa media ini menuhankan angka. Persentase. Nominal mata uang. Seakan saya terkena dosa besar layaknya pezina kalau meliput berita-berita dengan angle lain. Angle yang makro, yang visioner, yang saya harap bisa jadi inspirasi. Tulisan saya dikebiri. Ditinggalkan bagian yang mengandung angka-angka saja. Telanjang. Tak lebih dari onggokan huruf yang menurut saya tak bermakna.
Saya tertawa-tawa menghadapi hal itu. Ah, memang saya yang salah, ini kan media bisnis, bukan media kemanusiaan, atau budaya. Ingat lagi segmentasi pasar, dodol!

Lalu sejak hari saya sadar itulah saya berubah. Saya membuat tulisan yang datar. Menyajikan fakta ala kadarnya, tanpa peduli tak ada yang bisa saya ubah dari ketidakbenaran di masyarakat yang saya tahu. Saya hanya menulis begitu saja,bertumpu pada waktu. Semakin cepat selesai semakin baik. Peduli setan dengan isi. Peduli setan dengan idealisme. Para pengusaha itu hanya butuh jumlah buruh yang mendemo pabrik mereka, minta kenaikan pesangon berapa. Tanpa peduli sejak dirumahkan, apa yang dikerjakan para mantan buruh itu, bagaimana mereka melanjutkan hidup. Apa yang harusnya diusahakan para pihak untuk mengembalikan mereka pada hidup yang layak. Hak mencari nafkah. Hak jadi manusia. Hei, saya memang harusnya mendirikan sendiri media yang khusus menyajikan masalah kemanusiaan, mungkin. Tawa saya tumpang tindih dengan tangis.

Dari berita sebuah parade budaya, yang ingin diketahui pembaca adalah berapa arus kas tiap harinya, besarkah profit bila menjadi peserta. Tak ada yang mau sampah tentang manfaat parade itu untuk anak-anak muda yang semakin tenggelam dalam budaya asing, hilang memori dan tak acuh pada budaya lokal. Hei, mungkin saya harusnya jadi kontributor media seni dan budaya. Atau media pemuda. Atau media kebangkitan umat. Atau apalah, yang jelas bukan media bisnis dengan pembaca menengah ke atas. Segmen ini mungkin tak lagi punya hati. Tak lagi berpikir menyeluruh. Semua harus material. Bikin piramida terbalik, Fi, yang detail jumlahnya di paragraf awal. Biar taipan-taipan yang miskin waktu itu bisa sekedar membaca paragraf satu dan sudah dapat apa yang mereka butuh. Nominal.

Hancur sudah idealisme ekonomi kerakyatan via jurnalisme sastrawi yang selama ini susah payah saya kembangkan. Dari nol saya pelajari, saya hayati. Saya jadi manusia hambar. Dengan tulisan hambar. Saking tak terbiasanya, tulisan saya bahkan jadi lebih buruk lagi, Cuma semacam agenda atau deskripsi event saja.
Sekarang, saya benci mencari berita, saya benci menulis, saya benci pada kekacauan pikiran dan perasaan saya. Saya benci orang yang membunuh idealisme saya… Orang itu sayangnya saya sendiri..

Tolong, siapapun, beri saya saran, atau motivasi, atau makian. Apa saja, tampar saya agar bangun dari tidur penuh mimpi buruk seperti ini. Tolong,tolong, apa yang sebaiknya saya lakukan untuk menyelamatkan jiwa saya, at least, kalau memang pekerjaan magang ini tak bisa saya pertahankan. Sebelum idealisme saya benaar-benar mati. FYI, dia sekarang sedang sekarat.

-fi,on a super bad mood-

3 comments:

Manzila said...

Pil...geter geter baca postinganmu...
Konsekuensi ada disitu kayanya, melawan arus susah. Tapi lawan dulu sebisanya. Ato kalo gak bisa melawan arus yang kelewat besar...ya go indie! seperti yang selalu saya percayai (dan si ehem juga, hahah gak penting)... Go indie, terusin nulis disini. At least kamu gak terima, dan orang akan baca. Buat yang disana, di sungai besar itu, cobalah tricky sebisamu, kasih banyak "batu" di tulisanmu. Aku gak tau juga apa aku bisa menerapkan ini, tapi ntar kalo aku yang lagi ada di posisi kayak kamu, tukeran kamu yang ngobong-ngobongi aku yak...biar gak mati kita. :p

Ninda Rahadi said...

upil.... you more mature. begitu yang aku lihat dari tulisanmu. kita memang bertumbuh dari segi pikiran dengan cara yang berbeda. ini gelanggangmu anak mudaaaa. ayo peras tenaga, peras otak. pasti ada jalan. aku yakin. belajar dulu pokoknya nanti kita bikin majalah sendiri :D

Anonymous said...

kasian....

Regards,

Delicious Nutritious Recipes

Post a Comment