Pages

Thursday, September 9, 2010

Masa Muda yang Menggelora??

Q: Kegiatan apa yang paling sering dilakukan di bulan Ramadhan?
A: Puasa
Q: Heuhh,ya tau. Kegiatan selain puasa?
A: Buka bareng!

Undangan buka bersama memang seperti tidak ada habisnya ketika bulan puasa tiba. Buka bersama teman kuliah, teman satu SMA, teman main voli, teman satu SMP, teman SD, teman karang taruna, dst, dst. Daftarnya seringkali lebih panjang daripada satu halaman folio bergaris yang setiap garisnya diisi dua baris *lebay. Begitu juga yang terjadi pada saya Ramadhan tahun ini. Beberapa kali sampai bingung mencari-cari alasan untuk tidak hadir buka bersama karena kepala koki di rumah, alias ibu saya, murka masakannya terus-menerus diabaikan. FYI, saya juga lebih suka masakan ibu di rumah daripada masakan restoran paling enak sekalipun..

Lhah, apa hubungannya masak-memasak dengan titel "masa muda yang menggelora?". Mmmm, tidak ada. Hehe. Sebenarnya kali ini saya bercerita tentang hal-hal absurd yang pernah saya lakukan semasa SMP dulu. Hal-hal ini menghambur ke dalam ingatan kemarin sore, bersamaan dengan buka bersama teman seangkatan saat SMP. Kebanyakan teman tak pernah saya temui selama kurang lebih enam tahun. Mereka berubah, perempuannya lebih cantik, para lelaki lebih berotot =). tapi tetap ada karakter yang melekat, yang saya ingat lebih dari nama mereka. Senyuman si A dan gaya berdiri si B mengantar saya dengan sukses kembali ke enam tahun lampau, ke sebuah SMP favorit di pinggir kota, ke lapangan basket yang penuh dengan keributan manusia-manusia di awal masa remaja dengan seragam SD berlarian kesana kemari.


"Ayo cepat dik!", seorang kakak OSIS bertampang garang sibuk menertibkan para peserta Masa Orientasi Siswa(MOS) yang hampir terlambat mengikuti upacara penyambutan di lapangan sekolah yang dinaungi pohon-pohon rindang yang belakangan saya ketahui sering menjatuhkan bom ulat pada manusia yang berdiri di bawahnya. Saya yang berusia tiga belas tahun lebih sedikit saat itu, dengan potongan rambut yang disebut 'potong batok'(bagian belakang sangat pendek dan sejajar dengan poni yang pas di alis) dan wajah yang jauh lebih culun dari sekarang, celingukan mencari beberapa teman SD yang masuk di SMP yang sama. Tapi sepertinya tak ada yang satu kelas dengan saya. Saya hampir merasa sedih ketika pandangan saya tertumbuk pada barisan kecil yang memasuki lapangan dengan gagah (yang kalau saya pikir-pikir lagi ternyata sedikit lebay) dan berhenti di tengah-tengah, tepat di depan murid-murid baru. Barisan gagah itu ternyata adalah pengurus inti OSIS yang terdiri dari kakak-kakak kelas tiga. Mata saya yang saat itu belum minus jeli menjelajahi senior-senior itu dari ujung topi hingga ujung sepatu. Ada yang sipit, ada yang hitam manis, ada yang berambut kribo, dan puji Tuhan, ada seorang kakak ganteng berwajah indo berdiri di nomor dua dari ujung barisan. Ah, saya lupa apa jabatannya kala itu, kepala divisi sesuatu. Ketika dia maju ke depan barisannya dan mulai memperkenalkan diri, saya sadar itu adalah saat-saat penting dalam sejarah hidup saya. Ini adalah titik awal saya menyadari orientasi seks saya yang normal dan observasi pertama saya atas istilah lelaki tampan. Hehe..

Pada masa itu, masa hampir-pubertas, saya juga belum mumpuni dalam mengendalikan ekspresi. Apa yang saya pikirkan tergambar jelas di wajah saya sehingga setelah satu minggu MOS berakhir, hampir seisi sekolah(yang ini betulan dan tidak lebay) tahu kalau saya mengagumi si kakak OSIS tampan. Hal itu diperparah dengan ketidaksensitifan saya yang dengan semangatnya sering sengaja lewat depan kelasnya ketika membawa buku tugas ke ruang guru dan melongok-longok dengan gamblang di pintu kelas si kakak yang terbuka. Saya tidak pernah menyadari kenapa si kakak dan teman-teman sekelasnya menulis atau membaca dengan menahan senyum. Haaaaaahhhh, ternyata saya yang jadi hiburan gratis bagi mereka.

Semakin hari semakin banyak yang menggoda saya tentang si kakak tampan. Terutama teman-teman OSIS-nya. Pernah suatu ketika saya sedang melengkapi isi majalah dinding sendirian, seorang kakak OSIS yang berkulit hitam tetapi bermata sipit yang kini kabarnya telah menjadi ahli di sebuah perusahaan minyak asing, memandangi saya sambil tersenyum-senyum dari balik papan majalah dinding. "Kamu kapan ulangtahun?," tanyanya. "Masih lama kak," saya menjawab dengan bingung setelah beberapa detik tercenung. "Tapi hadiahnya aku kasih sekarang mau?," tanyanya lagi sambil menahan tawa. Saya yang masih merasa tak mengerti, menggaruk-garuk kaki dengan salah tingkah. Tiba-tiba si kakak hitam sipit menarik tangan seseorang yang sedari tadi berdiri di sebelahnya. Jeng...jeng... Sang kakak tampan melihat saya sambil tersenyum, fantastis. Senyum yang saya tuliskan sebagai 'senyum seribu kilowatt' di diary lawas saya yang berwarna pink norak dan ketumpahan es cincau.

Cerita saya dan si kakak senyum seribu kilowatt berakhir beberapa saat sebelum ia lulus. Momen klimaks yang akan selalu lekat bahkan dalam ingatan saya yang sangat lemah ini. Hari itu di jam istirahat, saya berdiri di depan kelas saya yang bersebelahan dengan kelas 3 dimana ada kakak kelas semasa SD yang saya kenal baik. Saya kemudian tak sengaja mendengar perbincangan kakak yang saya kenal itu dengan beberapa orang temannya yang hendak mengerjai saya. Segera saya berlari masuk ke dalam kelas dan duduk dengan waswas di bangku paling belakang. Tak lama kemudian, teman akrab saya memberitahukan dari luar pintu kelas kalau saya dicari kakak-yang-saya-kenal. Perut saya melilit. Saya yang sangat immature saat itu, menjerit-jerit ngeri dari dalam kelas. Rupanya jeritan saya malah membuat kakak-yang-saya-kenal dan beberapa temannya gemas dan masuk ke dalam kelas. Mereka menarik dan menyeret saya keluar kelas. Mungkin terdengar seperti bullying, tapi bukan, ini dilakukan dengan tidak bermaksud kasar. Saya tidak terluka secara fisik digandeng erat dan setengah diseret begitu, tapi rasa malu saya yang terluka parah. Haha. Saya dibawa hingga ke depan kelas kakak-yang-saya-kenal dengan disaksikan hampir seisi sekolah(lagi-lagi ini nyata,bukan hoax) yang tertarik pada keributan. Jeritan saya, sorakan kakak-kakak kelas 3.

Saya berhenti menjerit, atau lebih tepatnya tersedak, ketika menyadari tidak hanya saya yang diseret-seret. Sang kakak tampan juga diseret teman-temannya menuju ke arah saya. Gilaaaa..... Momen ketika saya berdiri berhadapan dengan kakak tampan menjadi pengalaman paling absurd sepanjang kelas 1 SMP, dan masih berada dalam urutan atas daftar pengalaman ganjil saya hingga hari ini. Kami berdiri saja ditonton sekitar seratus orang yang heboh bersuit-suit di sekeliling kami. Saat-saat aneh yang tidak tertahankan itu berakhir ketika kakak tampan dengan sabar tersenyum pada saya lalu berpamitan untuk kembali ke kelasnya. Mungkin ia kasihan melihat muka saya yang bersemu ungu dan tampak ngeri melihatnya menjulang di depan saya. Setelah ia berbalik, saya juga kembali berjalan ke kelas saya dengan sempoyongan diikuti pandangan tak puas dari penonton. Apa lagi?apaaa??? sudah habis harga diri saya *yang ini lebay. Hehee..

Tahun-tahun berikutnya di SMP juga penuh dengan kejadian-kejadian komikal yang cukup komersil yang mungkin bisa dijadikan novel teenlit *kepedean. Tapi berhubung posting ini sudah terlalu panjang, sebaiknya cerita konyol tentang masa SMP segera saya hentikan.

Anyway, bertemu dengan teman-teman lama bagi saya selalu menyenangkan, bahkan jika dulu teman itu sangat menyebalkan. Waktu membuat kita bisa menertawakan pengalaman atau setidaknya memancing senyum simpul. Ah, masa muda penuh gelora..


1 comments:

Hee Chan said...

Rasanya saya masih ingat si Kakak Tampan yang kau makasud, Phil he he he

Post a Comment